Materi Tarbiyah Dalam Islam

Pengertian Tarbiyah secara bahasa adalah Tansyi`ah (pembentukan), Ri`ayah (pemeliharaan), Tanmiyah (pengembangan),dan Taujih (pengarahan).

Maka proses tarbiyah yang kita lakukan dengan menggunakan sarana dan media yang ragam dan bermacam-macam, seperti halaqoh, mabit, tatsqif, ta`lim fil masajid, mukhoyyam, lailatul katibah dan lainnya harus memperhatikan empat hal diatas sebagai langkah-langkah praktis untuk sampai pada tujuan strategis yaitu terbentuknya pribadi muslim da`i atau muslim shalih mushlih.

1. Tansyi`ah (pembentukan)

Dalam proses tansyi`ah harus memperhatikan tiga sisi penting
yaitu :

a. Pembentukan Ruhiyah Ma`nawiyah
Pembentukan ruhiyah ma`nawiyah dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan
ibadah ritual seperti qiyamul lail, shaum sunnah, tilawah Qur`an, dzikir dll.
Para Murabbi harus mampu menjadikan sarana-sarana tarbiyah semisal mabit,
lailatul katibah, jalsah ruhiyah, dalam membentuk pribadi Mutarabbi pada sisi
ruhiyah ma`nawiyahnya dan dirasakan serta disadari oleh Mutarabbi bahwa ia
sedang menjalani proses pembentukan ma`nawiyah ruhiyah. Jangan sampai mabit
hanya untuk mabit.

b. Pembentukan Fikriyah Tsaqofiyah.
Sarana dan media tarbiyah tsaqofiyah harus dijadikan sebagai sarana
dan media yang dapat membentuk peserta tarbiyah pada sisi fikriyah tsaqofiyah,
jangan sampai tatsqif untuk tatsqif dan ta`lim untuk ta`lim, tetapi harus jelas
tujuannya bahwa tatsqif untuk pembentukan tsaqofah yang benar dan utuh, ta`lim
untuk tafaqquh fid dien dan ini harus disadari dan dirasakan oleh Murabbi dan
Mutarabbi.
c. Amaliyah Harakiyah.
Proses tarbiyah selain bertujuan membentuk pribadi dari sisi ruhiyah
ma`nawiyah dan fikriyah tsaqofiyah juga bertujuan membentuk amaliah harakiyah
yang harus dilakukan secara berbarengan dan berkeseimbangan seperti kewajiban
rekruitmen dengan da`wah fardiyah, da`wah `ammah dan bentuk-bentuk nasyrud
da`wah lainya. …… serta pengelolaan halaqoh tarbawiyah yang baru
sehingga sisi ruhiyah ma`nawiyah dan fikriyah tsaqofiyah teraktualisasi dan
terformulasi dalam bentuk amal nyata dan kegiatan ril serta dirasakan oleh
lingkungan dan mayarakat luas.
2. Ar ri`ayah (pemeliharaan).
Kepribadian Islami yang sudah atau mulai terbentuk harus dijaga dan dipelihara ma`nawiyah, fikriyah dan amaliyahnya serta harus selalu dimutaba`ah (dikontrol) dan ditaqwim (dievaluasi) sehingga jangan sampai ada yang berkurang, menurun atau melemah. Dengan demikian kualitas dan kuantitas ibadah ritual, wawasan konseptual, fikrah dan harakah tetap terjaga dan terpelihara dengan baik. Tidak ada penurunan dalam tilawah yaumiyah, qiyamul lail, shaum sunnah, baca buku, tatsqif, liqoat tarbawiyah dan aktivitas da`wah serta pembinaan kader.

3. At Tanmiyah (pengembangan).

Dalam proses tarbiyah, Murabbi dan Mutarabbi tidak boleh puas dengan apa yang ada dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, apalagi mnganggap sudah sempurna. Murabbi dan Mutarabbi yang baik adalah Murabbi dan utarabbi yang selalu memperbaiki kekurangan dan kelemahan serta meningkatkan kualitas, berpandangan jauh kedepan, bahwa tarbiyah harus siap dan mampu
menawarkan konsep perubahan dan dapat mengajukan solusi dari berbagai
permasalahan ummat dan berani tampil memimpin umat. Oleh karenanya kualitas diri
dan jamaah merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan dalam proses tarbiyah.

4. At Taujih (pengarahan) dan At Tauzhif (Pemberdayaan).

Tarbiyah tidak hanya bertujuan untuk melahirkan manusia yang baik dan berkualitas secara pribadi namun harus mampu memberdayakan …… dan kualitas diri untuk menjadi unsur perubah yang aktif dan produktif ( Al Muslim Ash Shalih Al Mushlih ). Murabbi dapat mengarahkan, memfungsikan dan memberdayakan Mutarabbinya sesuai dengan bidang dan kapasitasnya.Mutarabbi siap untuk diarahkan, ditugaskan, ditempatkan dan difungsikan, sehingga dapat memberikan kontribusi ril untuk da`wah, jamaah dan umat, tidak ragu berjuang dan berkorban demi tegaknya dienul Islam.

Diantara orang-orang yang beriman itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka telah janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur, dan diantara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya. “ ( QS 33 : 23 )

Indikasi keberhasilan tarbiyah bisa dilihat pada peran dankontribusi kader dalam penyebaran fikrah, pembentukan masyarakat Islam, memerangi kemunkaran memberantas kerusakan dan mampu mengarahkan dan membimbing
umat ke jalan Allah. Serta dalam keadaan siap menghadapi segala bentuk
kebathilan yang menghadang dan menghalangi lajunya da`wah Islam.

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu`min diri dan harta mereka dengan memberikan syurga kepada mereka, mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh, itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur`an, dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain ) daripada Allah, maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu dan itulah kemenangan yang besar “ (QS 9 :111)

Setiap manusia pasti menggeluti suatu kepemimpinan. Hadits Rasulullah mengatakan, “Setiap Anda adalah pengasuh dan bertanggung jawab terhadap asuhannya. Pemimpin adalah pengasuh dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Laki-laki adalah pengasuh di keluarganya dan bertanggung jawab terhadap asuhannya. Wanita adalah pengasuh di rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadap asuhannya, pembantu adalah pengasuh harta majikannya dan bertanggung jawab terhadap asuhannya. Setiap Anda adalah pengasuh dan bertanggung jawab terhadap asuhannya. (H.R Imam Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hibban di dalam bukunya "Raudatul Uqala" mengatakan, “Sunnah Rasulullah SAW menegaskan bahwa setiap pengasuh bertanggung jawab terhadap asuhannya, oleh karena itu setiap pengasuh berkewajiban memelihara hubungannya dengan asuhannya itu. Pengasuh manusia adalah para ulama, pengasuh raja adalah akal sehatnya, pengasuh orang-orang saleh adalah takwanya, pengasuh para pelajar adalah gurunya, pengasuh anak adalah orang tuanya. Setiap orang yang menjadi pemimpin bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya."


Yang lebih wajib lagi dipelihara adalah ikatan antara rakyat dan pemimpin negara, sebab pemimpin itu pengasuh mereka. Pemimpin negara sangat tinggi kedudukannya karena mereka orang yang paling berwenang memberikan perintah, melaksanakan , dan menyelesaikan berbagai masalah. Apabila mereka tidak menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya dan tidak mengarahkan rakyatnya, niscaya mereka akan bobrok dan membobrokkan rakyatnya. Dan bisa jadi dunia akan hancur karena rusaknya seorang pemimpin.


Dari kandungan hadits di atas dapat kita pahami bahwa setiap orang dewasa selalu melakukan suatu bentuk kepemimpinan, baik suami, istri, saudara yang lebih tua terhadap adiknya, pegawai terhadap urusan kerjanya, pemimpin keluarga, pemimpin partai, walikota, gubernur, atau presiden. Dari
sini dapat kita ketahui banyaknya bentuk kepemimpinan.


Bentuk kepemimpinan itu tidak terbatas banyaknya. Ada kepemimpinan itu tidak terbatas banyaknya. Ada kepemimpinan bapak dan ibu terhadap anak-anaknya, penguasa terhadap rakyatnya, dan guru terhadap siswa-siswanya. Ada kepemimpinan rohani, kepemimpinan umum -ini banyak sekali bentuknya- ada kepemimpinan pihak yang menang, dan pihak yang kalah.


Kalau Anda kemukakan berbagai bentuk pemerintahan yang ada di dunia niscaya akan Anda dapati berbagai bentuk kepemimpinan yang sangat banyak jumlahnya. Kalau Anda perhatikan partai-partai yang tengah berjuang merebut kekuasaan di situ terdapat berbagai bentuk kepemimpinan.


Bentuk-bentuk kepemimpinan ini bisa diperoleh secara alami, legal, dan Islami, seperti kepemimpinan suami terhadap istrinya dan bapak terhadap anaknya. Bisa juga diperoleh dengan pewarisan atau pengangkatan, seperti ulama yang mengangkat muridnya menjadi seorang imam. Bisa juga dengan pemilihan dan musyawarah atau pengangkatan, seperti presiden yang mengangkat menteri atau panglima angkatan perang.


Dalam ulasan ini kami tidak akan meliput seluruh bentuk kepemimpinan itu, karena banyak sekali jumlahnya, tak terhitung. Kami memilih beberapa tema yang berguna bagi orang yang membacanya, insya Allah. Baik sebagai pemimpin atau yang dipimpin. Kami hanya akan menyebutkan hal-hal yang kami anggap penting dalam rangka penyuluhan bagi umat Islam dewasa ini, tentang hal-hal yang mesti disadarinya. Seyogianya umat Islam adalah orang yang paling tahu, paling sempurna, karena dia sebagai muslim dan pengikut Rasulullah SAW.


Mengejar Kepemimpinan


Akhlak seorang muslim tidak mengejar kepemimpinan untuk dirinya. Tidak mendesak dan merebut kepemimpinan dari orang yang layak memiliki kepemimpinan itu. Apabila diberi tanggung jawab kepemimpinan, sementara dia lemah dan tak sanggup memikulnya, hendaknya dia menolak tanggung jawab itu. Kecuali, apabila dia yang harus memegangnya, maka dia wajib melaksanakannya. Bila menghindar berarti berdosa, dan bila melaksanakan kewajibannya itu, dia mendapat pahala. Nash-nash berikut ini menjelaskan hal tersebut di atas, "Itulah negeri akhirat, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menginginkan kesombongan di bumi, dan tidak pula menginginkan kerusakan. Dan kesudahan yang baik untuk orang-orang yang bertakwa."


Dari Abdur Rahman bin Samurah, Rasulullah SAW bersabda, “Hai Abdurrahman, janganlah Anda meminta kepemimpinan, kalau kau diberikan karena memintanya berarti itu beban bagimu. Kalau Anda diberikan tanpa memintanya berarti Anda diberikan bantuan dengan tugas itu". (Riwayat ke enam perawi hadits keenam perawi, kecuali Malik)


Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kalian akan berambisi memperoleh kepemimpinan, dan itu akan menjadi penyesalan nanti pada hari kiamat. Alangkah bahagia orang yang terus menyusui (melaksanakan tugasnya) dan alangkah buruk orang menyapihya (melalaikan tugasnya). (H.R. Bukhari dan Nasai)


Dari Abu Musa katanya, “Aku masuk menemui Nabi bersama-sama dengan dua orang anak pamanku, satu di antaranya berkata, “Wahai Rasulullah berikanlah kepemimpinan kepadaku dari berapa tugas yang diberikan Allah kepadamu, dan yang satu lagi berkata demikian pula. Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya demi Allah kami tidak memberikan tugas ini kepada orang yang memintanya, atau berambisi memperolehnya". (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Nasai)


Dari Abu Dzar katanya, “Wahai Rasulullah tidakkah engkau tugaskan aku? Beliau menepukkan tangannya ke pundakku lau bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu lemah, dan tugas itu amanah, dan (dapat mengakibatkan ) kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang mengambilnya dengan benar dan melaksanakan amanah yang dibebankan kepadanya." (H.R. Muslim)


Dari Ubadah bin Shamit katanya, “Kami melakukan baiat perang kepada Rasulullah agar mendengar dan taat dalam susah dan senang, dalam giat, letih dan berat, agar kami tidak akan menentang tugas yang dipikul oleh ahlinya, agar kami mengatakan yang hak dimanapun kami berada, dan agar tidak takut terhadap celaan orang-orang yang mencela kami di jalan Allah." Demi kian disebut di dalam "Al Bidayah Vol 3 hal 164. Hadits serupa diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Muslim seperti disebutkan dalam Kitab Targib Vol 4 hal.3. apabila seseorang telah ditetapkan memegang suatu kepemimpinan, maka orang yang menghalang-halanginya akan berdosa. Apabila yang telah ditetapkan itu menolak ia pun berdosa.


"Barang siapa yang mengangkat pemimpin suatu jamaah padahal di antara mereka ada orang lain yang lebih disenangi oleh Allah, berarti ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman." Riwayat Hakim dari Ibnu Abbas, dan Suyuti memberikan kode shahih terhadap hadits ini.


Kaidah syara mengatakan: Barang siapa yang ternyata harus melakukan fardu kifayah maka fardu kifayah ini baginya menjadi fardu ain.


Siapa yang melihat bahwa dirinya mampu dan diusulkan oleh orang lain, maka tidak apa-apa baginya untuk tidak menolaknya, ia boleh memelihara hak pencalonan yang diberikan kepadanya, dan terhadapnya diberlakukan hukum-hukum yang berlaku atau kaidah-kaidah yang digunakan. Keenam sahabat yang dicalonkan oleh Umar tidak menolak sama sekali pencalonan itu. Ini berarti permintaan secara implisit, dan ternyata itu dibiarkan saja.

Gambaran Umum Ilmu Waris

Ilmu waris merupakan salah satu ilmu yg HARUS dipelajari / dikuasai di Islam, minimal ada seseorang yg mengetahui secara detail dan mampu menjelaskan(+ memberikan solusi) apabila terjadi permasalahan soal waris. Hal ini dikarenakan waris berkaitan dengan harta, dan sudah menjadi sifat manusia, tamak terhadap harta. Bahkan karena harta, hubungan darah ( persaudaraan ) bisa berantakan.

Istilah lain dari ilmu waris adalah faraidh, sebagaimana yg aku tulis di atas ( aku tuliskan lagi sebagai penekanan ), ini merupakan kewajiban dari ALLOH SWT yg harus dilaksanakan seperti halnya mengerjakan sholat, puasa, zakat, haji. Hal ini dikarenakan ilmu waris sudah ada KETENTUAN yg telah dijabarkan oleh Kitabullah ( Al Qur’an ) dan Sunnah Rasululloh SAW. Pembagian harta pusaka (warisan) di dalam Al Qur’an dikenal dg istilah HUDUD ALLAH (batas atau ketentuan yg ditetapkan ALLAH ( An Nisa( 4 ):13-14 ).

Tentang PENTINGNYA ILMU WARIS ini, Rasululloh SAW sendiri bersabda“Pelajarilah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia. Pelajarilah ilmu faraidh ( waris ) dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya saya ini adalah orang yg akan direnggut ( diwafatkan ALLAH ), sedangkan ilmu faraidh akan diangkat ( dihilangkan ) ALLOH. Hampir saja 2 orang bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorangpun yg sanggup menfatwakannya kepada mereka.” ( HR Ahmad, Nasai, dan ad Daruquthny ).

Setelah membaca referensi", Saya definisikan Kewarisan ( Faraidh ) sebagai berikut:
Pengetahuan ( ilmu ) fiqh yg berkaitan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yg dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yg wajib dari harta pusaka untuk setiap pemilik hak pusaka.

Dari definisi di atas, maka obyek pengetahuan waris terdiri dari:
1. Penentuan siapa yg berhak menjadi ahli waris
2. Penentuan mengenai harta peninggalan
3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris, untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Biasanya yg menjadi masalah adalah point 3. Untuk itu, jika tidak ada kesepakatan dari para ahli waris, maka sengketa harus diselesaikan oleh hakim PENGADILAN AGAMA.

DASAR HUKUM
Dasar hukum kewarisan yg dijadika dasar dalam penetapan kewarisan adalah:
1. Al Qur’an. Al Baqarah( 2 ):180&240, An Nisa( 4 ):7,11,12,33&176, Al Ahzab( 33 ):6.
2. Hadits Rasululloh SAW. “Berikanlah harta pusaka ( faraidh ) itu kepada orang-orang yg berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yg lebih utama.” ( HR Bukhari dan Muslim )
3. Ijma’ ulama. Untuk di Indonesia, bisa merefer ( merujuk ) ke Kompilasi hukum Islam.

TERJADINYA KEWARISAN
Kewarisan terjadi apabila memenuhi rukun sebagai berikut:
1. Maurist ( harta atau hak yg diwarisi ), yg lebih dikenal dg istilah tirkah ( harta peninggalan). Yaitu harta yg ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta benda yg menjadi miliknya maupun hak-haknya;
2. Muwarrits ( pewaris ). Yaitu orang yg meninggal dunia;
3. Warist ( ahli waris ). Yaitu orang yg akan mewarisi harta peninggalan.

Kompilasi hukum Islam mendefinisikan ahli waris = orang yg ada pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama ISLAM, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Dengan demikian, jika ada orang tua (Islam) yg mempunyai anak non Islam, maka anak tsb TIDAK BERHAK mendapat warisan, sengotot apapun dia ;-) Dari beberapa referensi, ANAK YG LAHIR DI LUAR NIKAH juga TIDAK BERHAK mendapat waris, karena statusnya yg tidak jelas ( oleh karena itu, hati", jangan sampai hamil di luar nikah…!!! ).

SALAH PAHAM PEMBAGIAN HARTA WARIS
Di bagian ini seringkali terjadi salah kaprah, terutama di Indonesia. Seseorang yg sudah uzur&merasa ajalnya sudah dekat ( atau bahkan masih muda&sehat ) seringkali membagi-bagikan hartanya sebelum dia meninggal. Dia beranggapan dg dibaginya harta yg dia miliki pada saat dia masih hidup, maka perselisihan antar anggota keluarganya bisa diredam. HAL INI JELAS2 SALAH DAN TIDAK BERDASAR..!!! Rasululloh SAW bersabda“Barang siapa yg meninggalkan hak atas suatu harta, maka hak atau harta itu adalah untuk ahli warisnya setelah KEMATIANNYA.” Al Qur’an, surat Al Baqarah ( 2 ):180 juga menyatakan hal yg serupa.

Intinya, PEMBAGIAN HARTA WARIS DILAKUKAN SETELAH KEMATIAN…!!!

HAL-HAL YG HARUS DILAKUKAN SAAT PEMBAGIAN HARTA WARIS
Sebelum harta waris dibagikan kepada ahli waris, ada hal-hal yg harus diperhatikan. Hal-hal tersebut:
1. Biaya perawatan ( tahjiz ). Harta waris harus dikurangi dahulu biaya perawatan ( jika muwarrits dirawat sebelum meninggal dunia ). Oleh karena itu, perawatan orang sakit hendaklah PROPORSIONAL, TIDAK BOROS, namun TIDAK KIKIR ( lihat Al Furqan(25):67 sebagai rujukan ).
2. Utang ( dain ). Utang dibedakan atas utang kepada ALLOH ( zakat & nadzar ) dan utang kepada manusia. Utang ini mesti dilunasi dulu dg harta waris sebelum dibagikan. Karena itu, seringkali kita mendengar pihak keluarga menanyakan kepada orang2 yg hadir di prosesi jenazah, apakah muwarrits mempunyai hutang dan jika punya maka hendaknya menghubungi pihak keluarga untuk diselesaikan.
3. Wasiat, yaitu pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain/lembaga, yg berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Wasiat diberikan secara sukarela yg pelaksanaannya ditangguhkan sampai adanya peristiwa kematian. ( jika pemberian dilakukan saat pewaris masih hidup = HIBAH). Islam, sebagai agama yg ‘masuk akal’ MELARANG wasiat yg berlebihan. Wasiat dibatasi jumlahnya, TIDAK LEBIH DARI 1/3 harta warisan. Secara logika, tentu ini masuk akal, karena jika ada wasiat yg menyatakan harta 100% untuk orang lain maka terasa tidak adil bagi anggota keluarga yg ditinggalkannya. Banyak kasus wasiat yg ‘tidak masuk akal’ terjadi, terutama di masyarakat barat, yg kadang memberikan harta warisan jutaan dollar kepada yayasan atau malah kepada ANJING peliharaannya sendiri.