Memahami Pernyataan “Aku Beriman Kepada Allah”

“Aku beriman kepada Allah” adalah sebuah pernyataan yang sudah dapat dipastikan telah kita lafalkan. Kita juga mengetahui bahwa keimanan ini adalah keimanan yang pertama kali dituntut bagi seorang muslim pada rukun iman yang enam.

Hal ini sebagaimana jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril tentang apa itu iman, yaitu,

“Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman dengan takdir, yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim)

Sejauh manakah pemahaman kita akan pernyataan keimanan ini? Beriman kepada Allah, tidaklah cukup dengan sekedar mengakui bahwa Allah-lah Sang Pencipta dan Pemberi Rezeki. Karena kaum musyrikin pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui ini, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, “Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 9)

Agar kita tidak sekedar taklid (ikut-ikutan) dan dapat memahami pernyataan keimanan ini secara benar, maka ketahuilah saudariku, keimanan kepada Allah terkandung di dalamnya empat unsur yang saling berkaitan.

Pertama, keimanan kepada wujudullah (adanya Allah ta’ala). Maka jelas batillah pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak ada. Bahkan keberadaan Allah subhanahu wa ta’ala jelas nyata, baik secara fitrah, akal, syar’i dan secara indrawi.

Secara fitrah, setiap makhluk mengimani adanya Dzat yang menciptakan tanpa harus berpikir atau mempelajari terlebih dahulu. Adapun jika tidak sesuai dengan fitrah, maka ini terjadi karena ada sesuatu yang memasuki hatinya dan memalingkannya dari fitrah tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Lalu orangtuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Secara akal, maka kita mengetahui tidak mungkin sesuatu ada tanpa ada yang menciptakan dan kita juga mengetahui kita tidak menciptakan diri-diri kita sendiri. Maka jelas ada Dzat yang menciptakan, dan Dia-lah Allah tabaroka wata’ala.

Adapun dalil secara syar’i, maka seluruh kitab samawi membahas tentang adanya Allah ta’ala. Adapun ayat-ayat yang berisi hukum-hukum yang berisi manfaat untuk makhluk menunjukkan bahwa Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui apa yang membawa manfaat bagi makhluk-Nya. Dan ayat-ayat yang berisi khobar kauniyah dapat kita saksikan peristiwa-peristiwa yang sesuai dengan yang dikhabarkan tersebut, dan ini menunjukkan bahwa Allah Maha Kuasa untuk mewujudkan peristiwa yang telah diberitakan-Nya.

Keberadaan Allah juga dapat kita ketahui secara indrawi dengan dua cara, yaitu dari terkabulnya do’a dan dari mu’jizat para Nabi dimana manusia dapat menyaksikan atau mendengar mukjizat tersebut. Ini adalah kenyataan yang pasti akan adanya Dzat yang mengutus para Nabi tersebut dan Dia-lah Allah ta’ala.

Kedua, keimanan kepada sifat rububiyah Allah ta’ala, yaitu kita mengimani bahwa hanya Allah Rabb semesta alam dan tidak ada satupun sekutu bagi-Nya. Hanya bagi-Nya-lah hak untuk mencipta, menguasai dan memerintah. Tidak ada seorang pun yang mengingkari sifat rububiyah Allah ini kecuali orang-orang yang sombong yang meragukan perkataan mereka sendiri.

Ketahuilah! Keimanan pada sifat rububiyah Allah telah diakui oleh kaum musyrikin pada zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari -Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (QS. Al Muminun [23]: 84-89)

Oleh karena itu saudariku, kita perlu mengetahui unsur yang ketiga dari keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu keimanan kepada sifat uluhiyah Allah ta’ala, yaitu mengimani bahwa hanya Allah-lah yang berhak disembah dan tidak ada satu pun sekutu bagi-Nya. Allah ta’ala berfirman, “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 163)

Dakwah pada sifat uluhiyah inilah yang ditolak oleh kaum musyrikin karena mereka mengambil tuhan-tuhan selain Allah ta’ala yang mereka meminta pertolongan dan memberikan pengorbananan pada sesembahan-sesembahan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala membatilkan perbuatan kaum musyrikin dan orang-orang yang membuat sekutu-sekutu bagi Allah ta’ala dengan dua dalil secara akal,

1. Sesembahan mereka tidak memiliki kekhususan dari sifat-sifat uluhiyah Allah, mereka tidak menciptakan tetapi diciptakan, mereka tidak dapat memberi manfaat, tidak dapat menolak bahaya dan sifat-sifat yang tidak mungkin dapat dimiliki selain Allah ta’ala.
2. Sesungguhnya kaum musyrikin mengakui bahwa Allah ta’ala adalah satu-satunya Pencipta (pengakuan pada sifat rububiyah Allah). Maka pengakuan mereka tersebut seharusnya melazimkan bagi mereka untuk tidak menyekutukan Allah dalam perkara uluhiyah Allah.

Keempat, engkau wajib mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala yaitu nama-nama dan sifat-sifat yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya atau Sunnah Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan tanpa melakukan tahrif, ta’thil, takyif, tamtsil dan tafwidh. Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-A’raaf, “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raaf [7]: 180)

Ketahuilah! Penetapan nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah tabaroka wa ta’ala tidak melazimkan kita melakukan penyerupaan atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Maha suci Allah dari segala penyerupaan tersebut. Allah telah menyatakan dalam firman-Nya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syuura [42]: 11)

Demikianlah saudariku. Dengan keimanan yang benar pada Allah subhanahu wa ta’ala, maka akan meperbaiki ketauhidanmu kepada Allah ta’ala yaitu dengan tidak menyembah kepada selain-Nya, menyempurnakan kecintaanmu pada Allah serta memperbaiki amal ibadahmu dengan apa yang diperintahkan oleh Allah ta’ala dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Semoga engkau kini memahami dengan makna yang benar dari pernyataan, “Aku beriman kepada Allah”. Berimanlah kepada Allah ta’ala secara utuh! Janganlah engkau tinggalkan salah satu dari empat unsur keimanan pada Allah ini. Jika engkau tinggalkan unsur pertama, maka engkau termasuk orang-orang sombong yang membohongi dirimu sendiri. Jika engkau tinggalkan unsur kedua, maka engkau tidak lebih baik dari kaum musyrikin pada masa Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Jika engkau tinggalkan unsur ketiga, maka engkau akan terjerumus dalam perbuatan syirik yang Allah ta’ala tidak akan mengampunimu sebelum engkau bertobat. Jika engkau tinggalkan unsur keempat, maka engkau telah mengingkari apa yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya. Wallahu musta’an.

Mulai dan Berakhirnya Bulan Ramadhan

Beberapa tahun terakhir ini, kita merasakan bahwa kaum muslimin di Indonesia memulai dan mengakhiri bulan Ramadhan tidak secara bersamaan.

Tahukah engkau wahai saudariku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dan mengakhiri puasanya dengan berpedoman dengan melihat hilal. Bila hilal tidak terlihat pun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memberitahukan alternatif cara, yaitu dengan cara menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30. Begitu pula dengan masuknya bulan Syawal. Maka metode baru, yaitu menentukan masuknya bulan Ramadhan dan Syawal dengan hisab (kalender) tidak dapat dibenarkan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan penjelasan yang sempurna tentang bagaimana menentukan masuk dan berakhirnya bulan Ramadhan.


Penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut ada pada hadis berikut ini:

“Jika kalian melihat bulan maka berpuasalah, jika kalian melihatnya maka berbukalah, dan jika bulan itu terhalang dari pandangan kalian maka sempurnakan hitungan (Sya’ban) tigapuluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Alhamdulillah pemerintah kita (Indonesia) dalam menetapkan awal dan berakhirnya Ramadhan dengan metode melihat hilal. Maka turutlah berpuasa dan mengakhiri bulan Ramadhan bersama pemerintah, karena “Puasa itu hari manusia berpuasa dan hari raya itu hari manusia berhari raya.” (HR. Tirmidzi)

Niat Puasa

Nawaituu….shauma ghodiinn… dst. Itulah niat puasa Ramadhan yang biasa dilafalkan setelah selesai shalat tarawih dan witir. Mungkin mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Hafshoh bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi & Ahmad, dishahihkan oleh al Albani dalam al Irwa’)

Tahukah engkau saudariku, hadits tersebut memang shahih. Tetapi penerapannya ternyata tidak sebagaimana yang dikerjakan oleh masyarakat sekarang ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melafalkan niat beribadah seperti shalat, puasa dan lainnya. Karena niat adanya di dalam hati. Maka cukupkan niatmu untuk berpuasa di dalam hati.

Imsak

Imsak adalah bahasa arab yang berarti “Tahanlah”. Lafal ini biasa dikumandangkan di masjid-masjid sekitar 10 menit sebelum adzan subuh di bulan Ramadhan (bahkan jadwalnya pun biasa beredar dan ditempel di rumah-rumah penduduk). Maksudnya dikumandangkannya lafal imsak ini adalah agar orang-orang mulai menahan diri dari makan dan minum sejak dikumandangkannya pengumuman tersebut.

Tahukah engkau wahai saudariku, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan dan memberitahukan cara seperti ini. Bahkan sebaliknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa sahur sesaat sebelum terbit fajar. Karena yang menjadi ukuran dimulainya puasa adalah saat terbit fajar. Seperti diceritakan oleh Anas radhiallahu’anhu, ia diceritakan oleh Zaid bin Tsabit radhiallahu’anhu seperti ini,

“Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat.”
Kemudian Anas pun bertanya kepada Zaid, “Berapa lama antara iqomah dan sahur?”
Zaid menjawab, “Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur’an.” (HR. Bukhari)

Sayangnya yang terjadi, saat-saat setelah imsak biasanya juga melalaikan manusia dari ibadah wajib setelah itu, yaitu shalat subuh. Bagaimana tidak, dalam keadaan terkantuk-kantuk sahur, kemudian harus menunggu sekitar 10 menit untuk ibadah shalat. Alih-alih ternyata 10 menit itu dipergunakan untuk tidur sesaat, dan akhirnya membuat seseorang terlambat shalat subuh. Sungguh, memang sesuatu yang tidak diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun terdapat kebaikan di dalamnya, tetap mengandung keburukan yang lebih banyak.

Do’a Berbuka

Di berbagai media elektronik, sering diputar lafal do’a ini sesaat setelah adzan Maghrib dikumandangkan. “Allahumma… lakasumtu… wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu… dst.” Tahukah engkau wahai saudariku, ternyata bukan itu lafal do’a berbuka puasa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Do’a berbuka puasa yang shohih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:

ذهَبَ الظَّمَأُ وَ ابْتَلَّتِ الْعُرُقُ وَ ثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَا اللّهَ
“Telah hilang rasa dahaga, telah basah kerongkongan dan mendapat pahala insya Allah.” (HR. Abu Dawud)

Ayo hafalkan sejenak. Supaya bertambah pahala yang kita dapatkan setelah berpuasa seharian karena berdo’a dengan do’a yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bid’ah Tarawih??!

Ada sebagian orang yang sangat senang melakukan ibadah, namun kurang memperhatikan kebenaran dalil-dalil ibadah tersebut, atau bahkan tidak mengetahui sama sekali dalil ibadah tersebut. Biasanya, jawabannya ini adalah bid’ah hasanah. Tahukah engkau saudariku, tarawih bukan termasuk bid’ah dan tidak tepat dijadikan alasan pembenaran bagi orang yang melakukan ibadah baru dalam agama. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah melakukan tarawih bersama para sahabatnya ketika beliau masih hidup. Beginilah dikisahkan oleh ibunda kita tercinta Aisyah radhiallahu’anha,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid (pada bulan Ramadhan-pen). Orang-orang pun ikut shalat bersamanya. Dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang. Ketika beliau shalat, mereka pun ikut shalat bersamanya, mereka memperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika malam keempat, masjid tidak mampu menampung jama’ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat subuh. Setelah selesai shalat (subuh), beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda, ‘Amma ba’du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian (shalat tarawih tersebut-pen), hingga kalian tidak mampu mengamalkannya’.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitulah belas kasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Karena ketika beliau hidup, wahyu masih turun, maka beliau khawatir jika akhirnya shalat tarawih pada bulan Ramadhan itu diwajibkan bagi umatnya. Dan beliau khawatir hal tersebut tidak sanggup dijalankan oleh umatnya. Dari hadits ini, maka jelas tarawih merupakan sunnah yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena 3 alasan:

1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat tersebut selama 4 hari, walau akhirnya ditinggalkan dengan sebab yang telah disebutkan di atas. (Berarti ini termasuk sunnah fi’liyah – perbuatan nabi shallallahu’alaihi wa sallam-)
2. Nabi menyatakan bahwa, “Barangsiapa yang mengikuti shalat bersama imam hingga selesai, maka Allah catat untuknya pahala shalat semalam suntuk.” (HR, Ahmad dishahihkan oleh Syaikh Al-Bani). Berarti tarawih juga termasuk sunnah qauliyah – perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendiamkan (yang diamnya ini berarti menyetujui) dengan perbuatan para sahabat yang melakukan shalat tarawih berjama’ah.

Antara 11 dan 23?

Jumlah raka’at shalat tarawih di berbagai ma sjid biasanya berbeda-beda, dan yang masyhur di negara kita kalau tidak 11 raka’at maka biasanya 23 raka’at. Lalu, yang mana yang benar ya?

Tahukah engkau saudariku, berdasarkan hadits yang diriwayatkan ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam melebihi 11 raka’at. Namun, berdasarkan penjelasan ulama, maksud hadits ini bukanlah pembatasan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya shalat malam sebanyak 11 raka’at saja. Karena terdapat riwayat shahih lainnya yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam sebanyak 13 raka’at. Jadi, maksud perkataan Aisyah radhiallahu ‘anha adalah yang biasa dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah shalat malam tidak lebih dari 11 raka’at.

Nah, bukan berarti menjalankan shalat tarawih sebanyak 23 raka’at adalah kesalahan lho. Karena di hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa, “Barangsiapa yang mengikuti shalat bersama imam hingga selesai, maka Allah catat untuknya pahala shalat semalam suntuk.” (HR, Ahmad)

Dan hadits tentang shalat malam, “Shalat malam itu dengan salam setiap dua raka’at. Jika salah seorang dari kalian takut kedatangan subuh, maka hendaklah ia shalat satu raka’at sebagai witir untuk shalat yang telah ia lakukan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kesimpulannya, jika engkau memilih shalat di masjid (dengan menjaga kaidah-kaidah perginya wanita ke masjid) dan mendapati di masjid tersebut biasa menjalankan shalat tarawih sebanyak 23 raka’at dengan tenang, maka engkau tidak perlu berhenti pulang setelah mendapati 8 raka’at. Ataupun jika shalat sendirian juga tidak mengapa jika ingin memperbanyak shalat 23 raka’at, 39 raka’at atau 41 raka’at. Namun, yang lebih utama adalah melakukannya sebanyak 11 raka’at sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan. Wallahu a’lam bi shawab.

Taubat Dalam Islam

Taubatan Nasuha...
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Tidak sedikit orang-orang saleh awalnya adalah orang-orang yang sangat jahat saat mudanya. Setelah bertaubat, ia beristiqomah dalam berbuat baik dan pengabdian kepada Allah. Beberapa di antara mereka, pada akhirnya, menjadi tokoh panutan karena kesucian dan perilaku-perilaku yang membebaskan.
Konon, Sunan Kalijaga adalah salah satu contoh beberapa orang-orang saleh yang berhasil tercerahkan, dan selanjutnya menjadi tokoh pemberi pencerahan pada masyarakat pada zamannya.
Hidup suci dalam Islam bisa diraih oleh siapa saja. Kesucian hidup, bukanlah hak istimewa seseorang. Jalan tersebut terbuka bagi siapa saja, tidak hanya milik para ulama. Bahkan orang jahat sekalipun, ia bisa menapak cara hidup suci, asal dia bersedia untuk bertaubat dan bersungguh-sungguh. Bagi Allah, kesalehan bukan karena sama sekali tidak berbuat dosa, akan tetapi orang yang saleh adalah orang yang setiap kali berbuat dosa dia menyesali dan selanjutnya tak mengulangi perbuatan tadi.
Pepatah Arab menegaskan : "Manusia adalah tempat salah dan lupa". Pepatah di atas bukan berarti manusia dibiarkan untuk selalu berbuat salah dan dosa, akan tetapi kesalahan pada diri manusia harus ditebus dengan tobat, penyesalan dan penghentian. Rasulullah bersabda : Setiap anak Adam adalah sering berbuat salah. Dan, sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang bertaubat.? (H.R. Tirmidzi)
Taubat yang sungguh-sungguh di mata Allah adalah pembersihan diri yang sangat dicintai. Dalam Islam, pertaubatan bukan melalui orang lain, sebut saja orang saleh, tetapi dari diri sendiri secara langsung kepada Allah. Apalagi, Islam tidak mengenal penebusan dosa dengan sejumlah uang. Islam sungguh sangat berbeda dengan cara-cara pertaubatan dibanding agama-agama lain. Islam memandang, pertaubatan adalah persoalan yang sangat personal antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dan, Tuhan dalam Islam adalah Tuhan yang bisa didekati sedekat mungkin, bukan tuhan yang berada di atas langit, tak terjangkau.
Sabda Rasulullah (saw) : "Sesungguhnya Allah lebih suka menerima tobat hamba-Nya melebihi dari kesenangan seseorang yang menemukan kembali ontanya yang hilang di tengah hutan." (H.R. Bukhori dan Muslim)
Islam tidak menganggap taubat sebagai langkah terlambat kapanpun kesadaran itu muncul. Hisab (perhitungan) akan amal-amal jelek kita di mata Allah akan terhapus dengan taubat kita. Lembaran baru hidup terbuka lebar. Langkah anyar terbentang. Sabda Nabi (saw) : Siapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubat dan memaafkannya.? (H.R. Muslim)
Bertaubat, demikian halnya, dijadikan amalan dzikir oleh Rasulullah (saw) setiap hari. Beliau beristighfar kendati sedikitpun beliau tidak melakukan dosa. Karena lewat istighfar, Nabi memohon ampun dan mengungkapkan kerendahan hati yang sangat dalam di hadapan yang Maha Agung. Sabda Nabi (saw) : Hai sekalian manusia, bertaubatlah kamu kepada Allah dan mintalah ampun kepada-Nya, maka sesungguhnya saya bertaubat dan beristighfar tiap hari 100 kali.? (H.R. Muslim)
Firman Allah : Katakanlah ! Hai hamba-hamba-Ku yang berdosa terhadap jiwanya sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.? (Q.S. al-Zumar : 53)
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan seikhlas-ikhlas taubat, semoga Tuhan mu akan menghapuskan dari kamu akibat kejahatan perbuatan-perbuatanmu, dan akan memasukkan kamu ke dalam surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai.? (Q.S. al Thalaq : 8)
Dalam memperbaiki kesalahan dan membersihkan diri dari dosa, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu hak Allah dan hak bani Adam. Apabila kesalahan atau dosa berhubungan dengan hak Allah, maka ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
1.Harus menghentikan tindakan maksiat.
2.Harus dengan sungguh-sungguh menyesali perilaku dosa yang telah dikerjakan.
3.Berniat dengan tulus untuk tidak mengulangi kembali perbuatan tersebut.

Dan, apabila kesalahan itu berhubungan dengan bani Adam, maka syarat bertambah satu, yaitu harus menyelesaikan urusannya dengan orang yang berhak dengan meminta maaf atau halalnya, atau mengembalikan apa yang harus dikembalikan.
Sabda Nabi (saw) : Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa. Dan orang yang minta ampunan dari dosanya, sedangkan dirinya tetap mengerjakan dosa, seperti orang yang mempermainkan Tuhannya.? (H.R. Baihaqi)
Tidak sedikit orang-orang saleh awalnya adalah orang-orang yang sangat jahat saat mudanya. Setelah bertaubat, ia beristiqomah dalam berbuat baik dan pengabdian kepada Allah. Beberapa di antara mereka, pada akhirnya, menjadi tokoh panutan karena kesucian dan perilaku-perilaku yang membebaskan. Konon, Sunan Kalijaga adalah salah satu contoh beberapa orang-orang saleh yang berhasil tercerahkan, dan selanjutnya menjadi tokoh pemberi pencerahan pada masyarakat pada zamannya.
Wallahu a'lam...