Sejarah singkat Islam

Pengenalan

The Masjid Suleiman (Süleymaniye Camii) di Istanbul dibangun atas petunjuk sultan Sulaiman yang Agung oleh arsitek Ustmaniyyah; Sinan pada tahun 1557

1. Kisah Nabi Muhammad dan Sejarah Islam

Islam muncul di Jazirah Arab pada kurun ke-7 masehi ketika Nabi Muhammad s.a.w. mendapat wahyu dari Allah s.w.t. Setelah kematian Rasullullah s.a.w. kerajaan Islam berkembang sejauh Samudra Atlantik di Barat dan Asia Tengah di Timur. Lama-kelamaan umat Islam berpecah dan terdapat banyak kerajaan-kerajaan Islam lain yang muncul.

Namun demikian, kemunculan kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Umayyah, kerajaan Abbasiyyah, kerajaan Turki Seljuk, Kekhalifahan Ottoman, Kemaharajaan Mughal India, dan Kesultanan Melaka telah menjadi kerajaaan yang terkuat dan terbesar di dunia. Tempat pembelajaran ilmu yang hebat telah mewujudkan satu Tamadun Islam yang agung. Banyak ahli-ahli sains, ahli-ahli filsafat dan sebagainya muncul dari negeri-negeri Islam terutamanya pada Zaman Emas Islam.

Jazirah Arab sebelum kedatangan Islam merupakan sebuah kawasan yang dilewati oleh jalur sutera. Kebanyakkan orang Arab merupakan penyembah berhala dan ada sesetengahnya merupakan pengikut agama Kristen dan Yahudi. Mekah ialah tempat suci bagi bangsa Arab ketika itu karana di situ terdapatnya berhala-berhala agama mereka dan juga terdapat Telaga Zamzam dan yang paling penting sekali Kaabah.

Nabi Muhammad s.a.w. dilahirkan di Mekah pada Tahun Gajah (570 atau 571 masihi). Ia merupakan seorang anak yatim sesudah ayahnya Abdullah bin bdul Muthalib dan ibunya Aminah binti Wahab meninggal dunia. Ia dibesarkan oleh pamannya yaitu Abu Thalib. Baginda kemudiannya menikah dengan Siti Khadijah dan menjalani kehidupan yang selesa dan aman.

Namun demikian, ketika Nabi Muhammad s.a.w. berusia lebih kurang 40 tahun, beliau didatangi oleh Malaikat Jibril a.s. Sesudah beberapa waktu beliau mengajar ajaran Islam secara tertutup kepada rekan-rekan terdekatnya yang dikenal sebagai as-Sabiqun al-Awwalun dan seterusnya secara terbuka kepada seluruh penduduk Mekah.

Pada tahun 622 masehi, baginda dan pengikutnya berhijrah ke Madinah. Peristiwa ini disebut Hijrah. Peristiwa lain yang terjadi setelah hijrah adalah dimulainya kalender Hijrah .

Mekah dan Madinah kemudiannya berperang. Nabi Muhammad s.a.w. memenangi banyak pertempuran walaupun ada di antaranya tentera Islam yang tewas. Lama kelamaan orang-orang Islam menjadi kuat dan berjaya membuka Kota Mekah. Selepas kewafatan Nabi Muhammad s.a.w., seluruh Jazirah Arab di bawah penguasaan orang Islam.

2. Sejarah Islam di Indonesia

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.

Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.

Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar)...

Adab Pada Hari Jumat Sesuai Sunnah Nabi

Hari Jumat adalah hari yang mulia, dan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia memuliakannya. Keutamaan yang besar tersebut menuntut umat Islam untuk mempelajari petunjuk Rasulullah dan sahabatnya, bagaimana seharusnya msenyambut hari tersebut agar amal kita tidak sia-sia dan mendapatkan pahala dari Allah ta’ala. Berikut ini beberapa adab yang harus diperhatikan bagi setiap muslim yang ingin menghidupkan syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jumat.

1. Memperbanyak Sholawat Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya hari yang paling utama bagi kalian adalah hari Jumat, maka perbanyaklah sholawat kepadaku di dalamnya, karena sholawat kalian akan ditunjukkan kepadaku, para sahabat berkata: ‘Bagaimana ditunjukkan kepadamu sedangkan engkau telah menjadi tanah?’ Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” (Shohih. HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i)

2. Mandi Jumat

Mandi pada hari Jumat wajib hukumnya bagi setiap muslim yang balig berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri, di mana Rasulullah bersabda yang artinya, “Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang baligh.” (HR. Bukhori dan Muslim). Mandi Jumat ini diwajibkan bagi setiap muslim pria yang telah baligh, tetapi tidak wajib bagi anak-anak, wanita, orang sakit dan musafir. Sedangkan waktunya adalah sebelum berangkat sholat Jumat. Adapun tata cara mandi Jumat ini seperti halnya mandi janabah biasa. Rasulullah bersabda yang artinya, “Barang siapa mandi Jumat seperti mandi janabah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Menggunakan Minyak Wangi

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barang siapa mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak rambut atau minyak wangi kemudian berangkat ke masjid dan tidak memisahkan antara dua orang, lalu sholat sesuai yang ditentukan baginya dan ketika imam memulai khotbah, ia diam dan mendengarkannya maka akan diampuni dosanya mulai Jumat ini sampai Jumat berikutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Bersegera Untuk Berangkat ke Masjid

Anas bin Malik berkata, “Kami berpagi-pagi menuju sholat Jumat dan tidur siang setelah sholat Jumat.” (HR. Bukhari). Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Makna hadits ini yaitu para sahabat memulai sholat Jumat pada awal waktu sebelum mereka tidur siang, berbeda dengan kebiasaan mereka pada sholat zuhur ketika panas, sesungguhnya para sahabat tidur terlebih dahulu, kemudian sholat ketika matahari telah rendah panasnya.” (Lihat Fathul Bari II/388)

5. Sholat Sunnah Ketika Menunggu Imam atau Khatib

Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mandi kemudian datang untuk sholat Jumat, lalu ia sholat semampunya dan dia diam mendengarkan khotbah hingga selesai, kemudian sholat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai jum’at ini sampai jum’at berikutnya ditambah tiga hari.” (HR. Muslim)

6. Tidak Duduk dengan Memeluk Lutut Ketika Khatib Berkhotbah

“Sahl bin Mu’ad bin Anas mengatakan bahwa Rasulullah melarang Al Habwah (duduk sambil memegang lutut) pada saat sholat Jumat ketika imam sedang berkhotbah.” (Hasan. HR. Abu Dawud, Tirmidzi)

7. Sholat Sunnah Setelah Sholat Jumat

Rasulullah bersabda yang artinya, “Apabila kalian telah selesai mengerjakan sholat Jumat, maka sholatlah empat rakaat.” Amr menambahkan dalam riwayatnya dari jalan Ibnu Idris, bahwa Suhail berkata, “Apabila engkau tergesa-gesa karena sesuatu, maka sholatlah dua rakaat di masjid dan dua rakaat apabila engkau pulang.” (HR. Muslim, Tirmidzi)

8. Membaca Surat Al Kahfi

Nabi bersabda yang artinya, “Barang siapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat maka Allah akan meneranginya di antara dua Jumat.” (HR. Imam Hakim dalam Mustadrok, dan beliau menshahihkannya)

Demikianlah sekelumit etika yang seharusnya diperhatikan bagi setiap muslim yang hendak menghidupkan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di hari Jumat. Semoga kita menjadi hamba-Nya yang senantiasa di atas sunnah Nabi-Nya dan selalu istiqomah di atas jalan-Nya...

Sholatlah Dengan Tuma’ninah

Peristiwa Isra’ Mi’raj Merupakan peristiwa yang sangat istimewa. Yang meninggalkan 1 perintah untuk mendirikan ibadah yang begitu istimewa pula. Ibadah tersebut adalah sholat (sedikitnya) 5 waktu, sebagai sarana komunikasi seorang muslim dengan Sang Khalik.

Seperti kita ketahui bersama, sedemikian istimewanya ibadah sholat ini, sehingga ALLOH SWT mesti ‘mendatangkan’ Rasululloh SAW untuk bertemu dengan-Nya langsung untuk menyampaikan ibadah ini. Tidak seperti ibadah-ibadah lain yang disampaikan melalui Jibril sebagai perantara, melalui ibadah sholat ini ALLOH SWT seakan ingin menunjukkan agar manusia menaruh perhatian khusus pada ibadah ini.

Terlebih seperti yang sudah sering kita dengar, sholat merupakan ibadah (hal) pertama yang ditanyakan di hari akhirat kelak. Jika sholatnya baik, maka ibadah lainnya pun akan baik. Sebaliknya, jika sholatnya buruk, maka ibadah lain pun akan buruk. “Amal hamba yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka sungguh dia telah berbahagia dan selamat. Dan apabila jelek shalatnya maka dia telah binasa dan merugi” (HR. Baihaqi)

Perhatikan juga hadits berikut. Dari Abu Hurairah ra. dari Rasululloh saw., beliau bersabda : “Sesuatu yang pertama kali diperhitungkan pada hamba adalah shalatnya, jika ia menyempurnakannya. Jika tidak (sempurna) maka ALLOH Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : “Lihatlah apakah hambaKu mempunyai (shalat) sunat ?”. Jika kedapatan padanya (shalat) sunat, maka ALLOH berfirman : “Sempurnakanlah fardhu itu dengannya”. (Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah).

Dari sekian banyak hal tentang sholat, kali ini saya (terutama) ingin mengingatkan diri sendiri mengenai sholat yg tuma’ninah.

Apakah sholat yg tuma’ninah itu?

Tuma’ninah dalam sholat adalah gerakan sholat yang sempurna, di beberapa bacaan dituliskan tuma’ninah sebagai hal yg rileks. Pengertian saya, tuma’ninah adalah tindakan menyempurnakan gerakan sholat dengan kondisi yang rileks.

Lho, sholat kok malah rileks?

Jadi begini, saat ini banyak di antara kita yang sholat dengan gerakan yang tergesa-gesa. Sholat menjadi gerakan tanpa arti, bahkan malah berkesan sebagai gerakan senam. Padahal Rasululloh SAW sudah menjelaskan dalam hadits,“Sampai kamu merasakan tuma’ninah.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dengan kata lain, sholatlah dengan tenang. Berikut ini adalah penjelasan saya mengenai tuma’ninah yang MESTI DILAKUKAN PADA SAAT SHOLAT.

1. Jika ruku’, maka posisi badan mestilah benar-benar hingga membungkuk (dari beberapa tulisan, saya pernah baca, ruku’ yg ‘benar’ adalah jika anda merasakan adanya tarikan otot di kaki anda).

2. Pada saat i’tidal, hendaknya berdiri hingga posisi berdiri anda sudah benar dan dalam kondisi rileks (tidak tegang).

3. Ketika sujud, dahi benar-benar menempel (dan sedikit ditekan, dari beberapa referensi yang saya baca) pada tempat sujud. Kemudian punggungnya mesti dalam keadaan rileks (saya baca ada 2 posisi rileks untuk punggung dalam kondisi sujud, yakni melengkung ataupun ‘dibuat lurus’).

4. Duduk usai sujud, posisi anda benar-benar sudah ‘tenang’, tidak gelisah mengubah-ubah posisi.

Demikian sekelumit gerakan tuma’ninah yang saya ketahui berdasarkan beberapa referensi yang pernah saya baca.

Dengan gerakan tuma’ninah, sholat akan memakan waktu (normalnya) sekitar 10-15 menit. Namun, seringkali saya temui orang sholat dengan waktu kurang dari 5 menit untuk sholat Dhuhur, Ashar, dan Isya, yang jumlah raka’atnya sebanyak 4 raka’at. Padahal kita baru bahas mengenai tuma’ninah, belum ke bagian khusyu’. :-)

Mari kita benahi sholat kita, minimal dimulai dengan gerakan yg tuma’ninah. Semoga ibadah sholat kita diterima ALLOH SWT. Aamiin.

Makalah Tentang Ahlak Yang Tercela

I. PENDAHULUAN

Membahas dan menghilangkan sifat-sifat tercela ini bagi mahasiswa maupun di kalangan masyarakat umum sangatlah penting, karena dengan kita mengetahui sifat-sifat ini kita dapat menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal tersebut. Ini termasuk usaha tahliyyah mengosongkan / membersihkan diri dan jiwa lebih dahulu sebelum diisi dengan sifat-sifat terpuji. Sifat tercela in adalah terjemahan dari pada bahasa arab “sifahul mazmumah”, artinya sifat-sifat yang tidak baik yang tidak membawa seseorang manusia kepada pekerjaan-pekerjaan atau akibat-akibat yang membinasakan.

Imam Ghazali menyebut sifat-sifat tercela ini dengan sifat-sifat muhkilat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan, sifat-sifat yang tercela ini beliau sebut juga sebagai suatu kehinaan. Pada dasarnya sifat-sifat yang tercela dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu maksiat lahir dan maksiat batin.

Maksiat lahir adalah segala sifat yang tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir seperti mulut, tangan, mata dan lain-lain. Sedangkan maksiat batin adalah segala sifat yang tercela yang diperbuat oleh anggota batin, yaitu hati.[1]

II. PEMBAHASAN

A. Buruk Sangka (Suuzhan)

Buruk sangka adalah sifat yang curiga atau menyangka orang lain berbuat buruk tanpa disertai bukti yang jelas atau suatu perbuatan yang timbulnya dari lidah, tidak ada buruk sangka terhadap seseorang, jika lidah tidak bicara / mengata-ngatai.

Sesungguhnya prasangka buruk terhadap seorang muslim disertai fakta yang benar merupakan kendaraan melalui jalan yang kasar dan aib, serta dapat menjadi wabah kemadlaratan bagi masyarakat Islam. Prasangka buruk bukanlah suatu dosa bila hanya bisikan hati sesaat dalam jiwa manusia.[2]

Prasangka dihasilkan dari perbuatan dan perkataan seseorang atau gerak gerik orang yang mendapat tuduhan tertentu dari orang lain. Biasanya prasangka timbul bila seseorang berada dalam situasi yang sulit. Secara psikologis prasangka dapat melahirkan kecenderungan hati untuk menuduh orang lain yang menganggap jelek diri kita. Oleh karena itu Nabi bersabda :

حديث ابىهريرة رضي الله عنه، انّ رسول الله صلىالله عليه وسلم قال : اِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ اَكْذَبُ الْحَدِيْثِ {رواه البخارى}

“Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : hendaklah kamu menjauhkan dari sangkaan”, karena sesungguhnya sangkaan itu omongan yang paling berdusta”. (HR. Bukhari).[3]

Sering kita melihat orang yang menuduh orang lain jelek, dan berusaha untuk mengintai orang lain tanpa hak, setelah meneliti dan menemukan suatu kesimpulan dia berghibah (membicarakan kejelekan) terhadap saudaranya yang muslim. Orang yang berbuat seperti itu sama saja dengan melakukan tiga dosa, yaitu dosa karena berprasangka, dosa dari menyelidiki kejelekan orang lain, dan dosa dari membicarakan kejelekan orang lain. Begitulah prasangka jelek itu akan menarik manusia berbuat dosa lebih banyak. Oleh karena itu Allah SWT melarang attjassus “mengintip-intip” dan ghibah. Setelah melarang suudzan “buruk sangka” sebagai peringatan terhadap orang Islam agar tidak menempatkan diri pada posisi yang menjurus kepada suudzan terhadap orang muslim yang adil dan terjaga dari perbuatan dosa.[4]

B. Takabur dan Tahasud

وعن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه عن النبي صلىالله عليه وسلم قال : لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ من كان فىقَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ {رواه مسلم}

“Dari Abdillah ibn Mas’ud r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda : tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong, walaupun hanya sebesar atom”. (HR. Muslim).[5]

Takabur artinya : sombong, congkak atau merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain, baik kedudukan, keturunan, kebagusan, petunjuk, dan lain-lain.

Takabur itu terbagi atas 2 macam yaitu :

Takabur batin : yang merupakan pekerti di dalam hati

Takabur lahir : yang merupakan kelakuan-kelakuan yang keluar dari anggota badan, kelakuan-kelakuan ini amat banyak sekali bentuknya dan oleh karena itu sukar untuk dihitung dan diperinci satu persatu.

Jelasnya ialah orang yang menghinakan saudaranya sesama muslim melihatnya dengan mata ejekan, menganggap bahwa dirinya lebih baik dari yang lain, suka menolak kebenaran, sedangkan ia telah mengetahui bahwa itulah yang sesungguhnya benar, maka jelaslah bahwa orang tersebut dihinggapi penyakit kesombongan dan mengabaikan hak-hak Allah, tidak mentaati apa yang diperintahkan olehnya serta melawan benar-benar pada zat yang maha kuasa.

Takabur itu hukumnya haram, kecuali pada 2 tempat :

1. Sombong terhadap orang yang sombong

2. Sombong diwaktu peperangan terhadap orang-orang kafir.[6]

Tahasud

عن ابى هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلىالله عليه وسلم : اِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ ياء كل الحَسَنَاتِ كَمَاتَاءْ كُلُ النَّارُ الْحَطَبَ {اخرجه ابودود}

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasul bersabda takutlah kamu terhadap akibat hasud, sebab hasud itu dapat memakan (menghilangkan) semua kebaikan, seperti makannya api terhadap kayu bakar.[7]

Hasud adalah al-munafasah “bersaing”. Perbuatan hasud ini tidak terjadi kecuali karena suatu nikmat yang diberikan Allah kepada seseorang, barang siapa yang membenci nikmat dan menginginkan hilangnya nikmat dari saudaranya Muslim maka orang itu termasuk orang yang hasud. Oleh karena itu definisi hasud adalah membenci nikmat yang diberikan Allah kepada orang lain dan menginginkan hilangnya nikmat itu, sekalipun dengan cara memberi kuasa kepada orang lain untuk menghilangkan nikmat itu.[8]

C. Membuka aib orang lain

وعن ابى هريرة رضي الله عنه انّ رسول الله صلىالله عليه وسلم قال اَتَدْرُوْنَ مَالْغِيْبَةُ؟ قالوا : اللهُ وَرَسُوْلُهُ اعلمُ : قال ذِكْرُ كَ اَخَاكَ بِمَايَكْرَهُ قَالَ اَفَرَاَيْتَ اِنَ كَانَ فِىاَخِى مَااَقُوْلُ، قَالَ : اِنْ كَانَ فِيْهِ مَاتَقُوْلُ فَقَدِاغْتَبْتَهُ، وَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَاتَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ. {رواه مسلم}

Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah SAW bertanya : “Tahukah kamu sekalian, apakah menggunjing itu? Para sahabat berkata: Allah dan Rasulnya lebih mengetahui, beliau bersabda : “Yaitu bila kamu menceritakan keadaan saudaramu yang ia tidak menyenanginya. Ada seorang sahabat bertanya : bagaimana seandainya saya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada saudaramu itu maka berarti kamu telah menggunjingnya tidak terjadi pada saudaramu, maka kamu benar-benar membohongkannya” (Riwayat Muslim).[9]

Ghibah / menggunjing adalah merupakan suatu perbuatan tercela yang timbulnya dari lidah. Ghibah dengan buruk sangka adalah suatu perbuatan yang hampir-hampir sama, hanya ada perbedaannya sedikit.

Ghibah (menggunjing) à membicarakan kejelekan orang dibelakang orangnya.

Buruk sangka à suatu anggapan tentang orang lain yang boleh jadi benar / salah dengan berdasarkan data-data yang jauh sekali dari kebenaran. Buruk sangka terhadap seseorang sangatlah dicela oleh Islam. Sebab hal ini bisa mengakibatkan pertumpahan darah, karena itu Islam menyuruh menjauhi sifat tersebut.

Buruk sangka dikatakan perkataan dusta karena dua hal : benarnya belum tentu, sedang salah lebih besar dan pasti. Seperti halnya Ghibah, keduanya mencemarkan kehormatan seseorang yang ditimpa buruk sangka.

Humazah yakni mengumpat à orang yang menusuk perasaan seseorang, melukai hati dan memburuk-burukkan orang lain.

Lumazah à penggunjing yang suka daging sesama manusia disebabkan gemar mengumpat.[10]

D. Boros

وعن عَمْرِ وبن شُعَيْبٍ عن اَبِيْهِ عن جَدِّهِ رضي الله عنهم قال : قال رسول الله صلىالله عليه وسلم كُلْ وَاشْرَبْ وَالْبَسْ وَتَصَدَّقْ فِى غَيْرِ سَرَفٍ وَلاَ مَحِيْلَةٍ. {اخرجه ابودود واحمد، وعلَّقَهُ لِلْبُخَاريّ}

Dari Amr Putra Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata : bersabda Rasulullah SAW, makan, minum, dan berpakaianlah serta bersedekahanlah dengan tidak lebih berlebihan dan bukan tujuan sombong”. (Hadits dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ahmad). Imam Bukhari menyatakan ta’liqnya.[11]

Pada hakikat sesungguhnya harta benda itu adalah merupakan nikmat yang besar dari Allah SWT. Karena itu berlaku boros dan berroyal dengan harta itu hukumnya haram sebab ada nash yang mencegah hal itu. Demikian juga dihukumi dengan haram kikir membelanjakan harta benda; sebaik-baik penggunaan harta yaitu secara pertengahan dan sedang-sedang, tidak berlebih-lebihan dan berlaku kikir.

Boros / royal terhadap benda yaitu penggunaan harta benda secara berlebihan tanpa ada manfaatnya baik untuk kepentingan duniawi maupun kepentingan ukhrawi, sehingga kemanfaatan harta itu menjadi sia-sia dan tidak memberikan manfaat, misalnya membuang harta ke dalam lautan / membakarnya ke dalam api, tidak memetik buah-buahan yang telah masak di pohon sehingga ia menjadi busuk / rusak dan tidak bisa diambil kemanfaatannya.[12]

III. KESIMPULAN

Akhlak tercela dalam Islam sangat membahayakan dalam pergaulan sehari-hari. Jadi sia-sialah segala amal kebaikan apabila penyakit hati berada dalam hati kita dan akan mengganggu pula ketenangan jiwa kita. Oleh sebab itu apabila penyakit hati sudah mulai bersarang dan berkembang di dalam hati segeralah diobati dengan jalan zuhud (tidak tertarik dan mementingkan kepada keduniawian).

IV. PENUTUP

Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat memberi manfaat bagi yang membacanya. Tentunya banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penulisan makalah ini baik terlebih masalah isi, untuk itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Asmaran AS. MA., Pengantar Study Ahlaq, Rajawali Pers, Jakarta, 1992.

Imam Ghazali. Bahaya Lidah, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.

Hasan Ayyub, Etika Islam, Trigenda Karya, Bandung, 1994.

Riyadlussalihin, Jilid I.

Riyadlussalihin, Jilid II.

Drs. Anwar Mas’ari, MA., Ahlaq al-Qur’an, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1990.

Bulughul Maram.